11 Juli 2025 – Skandal korupsi pertamina tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) kembali mencuat dengan penetapan sembilan tersangka baru oleh Kejaksaan Agung. Kasus yang merugikan negara hingga Rp285 triliun ini mengguncang sektor energi nasional dan menyeret total 18 tersangka, termasuk mantan petinggi Pertamina dan pengusaha ternama. Penyimpangan seperti impor minyak tidak sesuai aturan, penyewaan terminal fiktif, hingga manipulasi harga kontrak menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Publik kini menuntut reformasi menyeluruh untuk mencegah korupsi sistemik di tubuh badan usaha milik negara ini.
Kronologi Kasus Korupsi Pertamina Rp285 Triliun
Kasus ini bermula dari penyidikan Kejaksaan Agung terhadap tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina selama periode 2018–2023. Penyelidikan mengungkap kerugian negara yang awalnya diperkirakan Rp193,7 triliun, namun kini membengkak menjadi Rp285,017 triliun setelah perhitungan lebih rinci.
Penyimpangan dalam Impor dan Ekspor
Para tersangka diduga melakukan impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) dengan harga yang dimark-up secara tidak wajar. Penyimpangan ini terjadi melalui pengaturan tender yang menguntungkan broker tertentu, sehingga harga beli minyak jauh lebih tinggi dari harga pasar. Selain itu, ekspor minyak mentah dalam negeri yang seharusnya diprioritaskan untuk kebutuhan domestik juga dilakukan untuk memenuhi kepentingan pribadi, menyebabkan Pertamina harus mengimpor minyak dengan biaya lebih mahal.
Skema Penyewaan Terminal Merak
Salah satu modus utama adalah penyewaan Terminal BBM Merak milik PT Orbit Terminal Merak (OTM). Penyewaan ini diatur sedemikian rupa meskipun Pertamina tidak membutuhkan kapasitas penyimpanan tambahan. Kontrak sewa ditetapkan dengan harga tinggi, yakni 6,5 dolar AS per kiloliter, dan klausul kepemilikan aset setelah 10 tahun dihilangkan, merugikan Pertamina hingga Rp2,9 triliun berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Daftar Tersangka dan Peran Mereka
Sembilan tersangka korupsi pertamina terbaru yang diumumkan pada 10 Juli 2025 meliputi berbagai kalangan, mulai dari eksekutif Pertamina hingga pihak swasta. Total tersangka kini mencapai 18 orang, dengan beberapa nama besar yang menjadi sorotan.
Enam Mantan Eksekutif Pertamina
-
Alfian Nasution, mantan Vice President Supply dan Distribusi Pertamina (2011–2015) sekaligus Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (2021–2023), diduga terlibat dalam pengaturan sewa Terminal Merak.
-
Hanung Budya Yuktyanta, mantan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina (2014), turut menyepakati kontrak sewa yang merugikan.
-
Toto Nugroho, mantan Vice President Integrated Supply Chain (2017–2018), terlibat dalam penyimpangan perencanaan impor.
-
Dwi Sudarsono, mantan Vice President Crude and Trading ISC (2019–2020), diduga memanipulasi harga kontrak impor.
-
Arief Sukmara, Direktur Gas, Petrokimia, dan Bisnis Baru PT Pertamina International Shipping, terlibat dalam sabotase tender kapal angkut.
-
Hasto Wibowo, mantan Senior Vice President Integrated Supply Chain (2018–2020), berperan dalam pengadaan BBM yang tidak sesuai aturan.
Tersangka dari Pihak Swasta
-
Martin Haendra, mantan Business Development Manager PT Trafigura (2019–2021), diduga menjadi perantara dalam pengaturan harga impor.
-
Indra Putra Harsono, Business Development Manager PT Mahameru Kencana Abadi, terlibat dalam pengangkutan minyak dengan mark-up harga hingga 15%.
-
Mohammad Riza Chalid, Beneficial Owner PT Orbit Terminal Merak dan PT Navigator Khatulistiwa, menjadi aktor utama di balik skema sewa terminal. Riza kini berada di Singapura dan mangkir dari tiga panggilan pemeriksaan.
Tersangka Sebelumnya
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan tersangka, termasuk Riva Siahaan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga), Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional), dan Muhammad Kerry Andrianto Riza, anak Mohammad Riza Chalid, yang berperan sebagai Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Dampak dan Respons Publik
Skandal ini mengguncang kepercayaan publik terhadap Pertamina sebagai pilar ekonomi nasional. Korupsi pertamina tata kelola minyak mentah ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak pada harga BBM yang menjadi beban masyarakat.
Tuntutan Reformasi Tata Kelola
Masyarakat mendesak pemerintah dan Pertamina untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola energi. Transparansi dalam pengadaan, pengawasan ketat terhadap kontrak, dan penerapan teknologi untuk meminimalkan celah korupsi menjadi prioritas. Fadjar Djoko Santoso, Vice President Corporate Communication Pertamina, menyatakan bahwa perusahaan menghormati proses hukum dan akan bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini.
Upaya Penegakan Hukum
Kejaksaan Agung, di bawah komando Abdul Qohar, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, menegaskan komitmen untuk mengusut tuntas kasus ini. Delapan dari sembilan tersangka baru telah ditahan selama 20 hari sejak 10 Juli 2025. Untuk Mohammad Riza Chalid yang masih buron, Kejaksaan Agung telah berkoordinasi dengan otoritas Singapura melalui perwakilan kejaksaan Indonesia di sana untuk memastikan kehadirannya di pengadilan.
Kesimpulan: Menuju Energi yang Bersih dari Korupsi
Kasus korupsi pertamina tata kelola minyak mentah menjadi cerminan buruknya pengelolaan sektor energi nasional. Dengan kerugian mencapai Rp285 triliun, skandal ini menuntut tindakan tegas, tidak hanya dalam penegakan hukum, tetapi juga dalam reformasi sistemik. Kejaksaan Agung telah menunjukkan langkah signifikan dengan menetapkan 18 tersangka, namun tantangan terbesar adalah memastikan semua pelaku, termasuk yang berada di luar negeri, mempertanggungjawabkan perbuatannya. Publik berharap kasus ini menjadi titik balik untuk menciptakan tata kelola energi yang transparan, akuntabel, dan bebas dari praktik korupsi, demi kesejahteraan bangsa.